Selasa, 25 Oktober 2011

Menulis itu Tiadalah Mudah

Lo punya cita-cita kan? Pasti.
Lo punya impian kan? Iya.
Oke, gue juga. tapi, seberapa besar niat buat ngewujudkan cita-cita lo?

hm, gue punya impian, impian gue adalah menjadi peri imut yang tiap hari naik kuda poni sama pangeran tampan, eh bukan, impian gue sebenernya ada lah menjadi seorang Penulis, seperti yang udah gue jelasin di postingan sebelumnya.
















Gue tau, dalam mewujudkan cita-cita itu, gue harus berusaha. kalo gue diem dirumah berendem di air lumpur terus, gak bakalan cita-cita gue bisa terwujudkan.

Semenjak terkenalnya Raditya Dika dan buku-bukunya, gue ngerasa kalo gue mempunyai peluang banyak buat jadi penulis, gue ngerasa jadi penulis itu gampang. segampang ngerjain soal matematika anak TK. gue emang idiot.

Tapi, setelah gue telaah dan cermati, jadi penulis itu gak segampang apa yang gue kira. gue cuma ngeliat sosok Raditya Dika dari keberhasilannya. gue gak kepikiran ketika awal dia bikin buku, apakah langsung berhasil? enggak.
pertama kali bukunya keluar, apa lo kira banyak orang yang dateng saat talkshownya? enggak.
saat talkshow pertama buku Kambing Jantan, yang dateng bisa diitung, mungkin kira-kira sepuluh orang. mungkin beberapa diantaranya yang dateng itu beranggapan kalo acara itu adalah acara 'manusia pendek makan beling', atau semacam acara sirkus. iya, itu sedih.
contoh lagi, ketika Alit bikin buku Shitlicious, memakan waktu empat tahun untuk ngebuat naskah itu menjadi buku. woah, bayangin. empat tahun. empat kali lebaran, men! dan mungkin di pertengahan proses pembuatan bukunya, Alit bisa aja pernah ngerasa down, putus asa, putus harapan, atau apalah. sampai akhirnya bukunya diterbitkan.

gue jadi lemes, gak yakin bisa nerusin cita-cita gue itu. kalopun naskah gue udah siap untuk dibukuin, apakah ada penerbit yang mau nerbitin buku gue? mungkin cuma penerbit yang mengeluarkan buku peternakan yang mau nerbitin. dan seandainya ada yang penerbit yang mau nerbitin, apakah bisa jamin buku gue bakal laku? apa ada yang mau beli? ya, mungkin ada yang beli buat keset kamar mandi.
udah ah, jadi lemes.

Rabu, 12 Oktober 2011

Sabtu Malam itu Tak begitu Kelabu

8 Oktober malem kemaren, gue ke Restoran Nelayan di daerah Ancol. enggak, kali ini kesana bukan untuk nyolong sisa tulang di piring kotor kok. gue diajakin jadi penjaga buku tamu di acara pernikahan tantenya temen gue.
Hahaha, kalian pikir gue adalah anak baik hati yang secara suka rela sabtu malam yang biasa gue gunain untuk berpacaran (sama guling) kali ini untuk membantu orang, kan? sebenernya itu hanya manipulasi semata. tujuan asli gue adalah biar bisa menyeringai semua macam makanan yang ada, gue lahap dengan nistanya. ah, nikmatnya hidup.

ini sebelum acara dimulai (keganasan terhadap makanan kondangan kita belum muncul)

masih kalem
noh, gue yang pake kacamata sendiri.

sebenernya, dalam hati udah tereak "makanaaan... makanaan.."

Singkatnya, acara dimulai jam 7 malam. dengan terpaksa memakai wedges 10 centi, gue pake. cukup menyiksa, kawan. iya, gue emang abege dengan setengah jiwa kambing di dalam diri gue. gue juga gak tau nyambungnya wedges dengan kambing itu darimana.

selang beberapa saat, ketika itu gue lagi makan somay sambil jongkok di bawah meja (oke, emang punya bakat jadi kucing garong). terlihat sosok 2 cowok beserta pasangan masing-masing sedang mengisi buku tamu. gue berasa kenal. apakah mereka dulu temen seperjuangan jualan obat nyamuk di Zimbabwe yang akhirnya terpisah dengan gue, karena mereka disangka hewan lepas yang abis meracau nyeruduk kota? oh bukan, itumah si Bambang dan Parjo. wah, ternyata itu adalah Rizky Mocil dan Adipati. fyi, mereka artis, bukan pemain sirkus. ada gula, ada semut. tong kosong nyaring bunyinya. mumpung ada kesempatan, kitapun mengajak mereka untuk foto.
ini sebenernya yang artis siapa? gak tau diri emang, artis disuruh berdiri di belakang.


berhubung gue ngidolain Bena, gue minta Rizky Mocil untuk foto bareng gue. ya karena mukanya juga agak mirip.
jangan tertipu dengan ketinggian gue, itu hanya tipuan wedges 10 centi. dan masih pendek.
Setelah makan, foto-foto juga.
"kenyaaaaanggg aaaah aduhaai ambooi!"

perut terisi sudah, raut muka pun bahagia.


Rabu, 05 Oktober 2011

Lika-liku Menetap di sebuah Hubungan

Yak, hari ini, gue baru balik setelah main di rumah temen, dari jam tiga sore sampai setengah enam. tapi, apakah kalian tau? sebenernya, Ayu Ting-Ting adalah anak yang ditukar dari keluarga ibu keponakan tetangga abang somay yang biasa mangkal di stasiun. ituloh, yang rumahnya di daerah Ancol, masuk ke laut, nyebur agak nyerong kanan dikit. eh bukan, sebenernya hari ini sampai seminggu kedepan, gue sedang memasuki jurang cobaan tuhan yang dijuluki UTS, Ujian Tengah Semester. sebenernya sih, gue lebih suka UTS yang kayak gini: UTS, atau Ujian Tanpa Soal. pelaksanaannya cuma dateng ke sekolah, nulis nama, dan langsung cabut, karena emang gak ada soal yang harus diisi. hidup pasti lebih mudah kalau seperti itu.

Saat di rumahnya, dia bercerita banyak. bukan, bukan masalah berapa banyak so nice yang dimakan oleh smash tiap hari, bukan itu. dia bercerita, mulai dari rumah kosong yang penuh makhluk di depan rumahnya, sampai kenangannya bersama si mantan pacar yang masih sangat diingatnya.
dia bercerita, saat mereka mulai tahap pendekatan. seperti lazimnya remaja PDKT, yang katanya harus sweet, jangan terlalu keliatan ngarep banget, yang masih malu-malu gitu.
dia bercerita, saat mereka akhirnya memutuskan menuju jenjang lebih meyakini, lebih mengikat, pacaran. bagaimana indahnya melewati berjalannya jejak kalender dengan someone special.
dia bercerita, ketika menghadapi konflik yang membuat mereka harus berantem, baikan, marah, kesel, baikan, proses-proses itu, dengan rumitnya mereka hadapi.
dia bercerita, saat mereka terpaksa harus mengakhiri, memutuskan sehelai ikatan hubungan mereka. merasa udah gak ada kecocokkan. merasakan perbedaan pendapat dan jalan masing-masing. memilih untuk berhenti, daripada melanjutkan paham yang telah beda jalurnya. dan diakhiri dengan tangisan. disusuli suara batin meracau, "mana janjinya yang dulu?" "mana semua ucapan sayang yang pernah kamu bilang?" "mana yang katanya kamu bilang gak bakal ngecewain?" apakah hilang? terhempas? atau sengaja dibuang? dimana? kemana? *backsound: alamat palsu*
dia bercerita, kala tiba-tiba teringat, terlintas semua kenangan indah itu, merindukan kehadiran, merindukan saat-saat mereka bersama melewati setapak waktu yang telah berlalu, yang mungkin akan meneteskan derai air mata kerinduan. lebih memilih untuk merindu, galau, menangis, daripada melupakan kenangan indah (atau pahit saat teringat) bersamanya.

Sudah menjadi hal yang umum, dari hubungan yang belum terlalu serius itu, akan berujung sakit, pahit. tapi masalahnya, kenapa kita, para remaja masih memilih untuk menjalin hubungan, kalau tau pasti bakalan berhenti di tengah jalan? mending jalan aspal yang mulus, kalau berhenti di jalan berbatu curam? jawaban itu, sebenernya kita emang udah mengerti, tapi susah untuk dicercahkan. karena manusia, pasti memiliki segelincir rasa kemunafikan untuk menjalani hidup.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Perjuangan antara Ipa dan Ips

Yak, 11 Ips 1. itu kelas gue sekarang. dan apakah kalian tau? sebenernya, sebelumnya gue masuk di kelas Ipa, kawan. saat pembagian kelas, gue udah yakin bakal masuk di Ips. karena, saat ngambil rapot kenaikan kelas, guru gue nanya gini
guru: "nanti kamu mau masuk jurusan apa?"
gue: "pencak silat, eh maksud saya Ips bu, gak kuat di Ipa, anti Ipa men!"
yasudah, gue udah tenang, dan mikir kalo gue bakalan di Ips.

Nah ketika pengumuman pembagian kelas sudah ditentukan, 9 Juli 2011. dan, dengan nistanya, entah kenapa gue masuk ipa. ipa men, IPA!
gue kaget. kenapa gue, si anak dekil mirip marmut desperate gini, bisa masuk ipa?
apakah ini pertanda kiamat? ataukah ini pertanda Anang balikan dengan Syahrini? gue juga gak tau.
Gue cek lagi. bener, nama gue ada di kelas 11 Ipa 1. sebenernya sih gue lebih milih nikah sama Greyson Chance daripada Cody Simpson yang ternyata ibunya adalah Mpok Nori, lah gue ini ngomong apa? sebenernya sih gue lebih milih Ips daripada Ipa. gue juga gak tau kenapa. mungkin ketika gue di Ips, gue merasa akan dapet pencerahan, seperti gue akan dapet pacar, atau paling enggak temen-temen gue ngejomblo semua. bisa jadi.

Karena gue gak srek di Ipa, akhirnya gue memilih pindah di Ips. kenapa? oh men, gak bakal kuat gue menghadapi pelajaran yang menghampiri di kelas Ipa.

Pertama, gue masih berada di kelas Ipa selama satu minggu selagi menunggu proses pemindahan ke Ips. gue, dan 2 temen gue menunggu dengan sabar (dan bosen). kerjaan gue di kelas ipa kira-kira cuma bengong, main hape, nyoret-nyoret buku tulis, dan tidur. begitu setiap hari.
Mungkin ini yang akan terjadi kalau gue masih berada di ipa:
guru: "apakah itu Natrium Hidroksida?"
gue: "emm, Natrium Hidroksida adalah suatu zat yang dihasilkan dari perpaduan mentega cair dan sari ketek tukang ojek."

dan guru pun ngelempar gue dari lantai dua.

guru: "coba kamu jelaskan apa itu hewan Mollusca?"
gue: "Mollusca adalah jenis hewan hasil kawin siri antara anoa dengan badak bercula, dan mempunyai cacat dibagian punggung karena kawin siri itu dilarang agama."

dan guepun langsung dicekek pake Cacing Pita.

Ketika itu banyak komentar-komentar dari orang sekitar ketika mengetahui gue pindah ke Ips.
temen 1: "lo pindah ke Ips? gilak bukannya beruntung dapet kelas yang isinya anak pinter semua!"
temen 2: "weh lo jadi pindah? oon lo kelas Ipa itu ada di sebelah kiri dan didepannya pohon mangga, kata kakek gue fengshuinya bagus!
abang batagor: "lo pindah? kemaren lo bayar batagor gue pake foto guru lo yang lagi fitness? monyet ileran lo! BAYARR!!"
adek kelas: "kak lo pindah ke Ips? nanti gue mau ngemutin kaos kaki siapa kalo lo pindah ke Ips?"
dan masih banyak lagi.

Sebenernya sih, Ipa atau Ips itu tergantung kita milihnya apa, kalo orang tua lo maksa misalnya lo harus di ipa, tanya aja ke mereka gini: 'emang kalian yang mau sekolah?' kemudian mereka akan diam dan gak tau mau ngomong apa.

P.S: untuk yang masih kelas sepuluh kebawah, kalian belum tahu betapa kejamnya dunia penjurusan SMA kelas sebelas.