Jumat, 20 Maret 2015

Ulasan Pementasan Teater Zat dengan Lakon 'Digugu dan Ditiru'


Guru, seperti yang diketahui semua orang, berarti adalah pendidik. Seharusnya. Guru, digugu dan ditiru, dipercaya dan dituruti kemudian ditiru oleh yang dididik. Seharusnya. Lalu, apa pengertian dari guru itu sesuai dengan realita yang ada? Isu inilah yang diangkat oleh Teater Zat pada pementasan dengan lakon Digugu dan Ditiru, yang sebelumnya telah dipentaskan dengan tambahan adegan dari sebelumnya, Rabu malam kemarin.

Lampu ruangan dimatikan, tanda adegan sudah dimulai. Diawali dengan 3 orang di atas panggung menjelaskan hal apa yang akan dipentaskan. Kemudian berkumpul di sisi kiri panggung menyanyikan beberapa lagu bertemakan nasionalis dengan maksud ingin menunjukkan bahwa pentas ini adalah drama musikal dan menggambarkan kisah ini terjadi di Indonesia. Suara dan pembagian nadanya enak didengar. Namun sayangnya, teknik pemanggungan di awal adegan ini kurang dipangkas, dilihat dari pemposisian yang bertumpu di satu titik, tidak ada perpindahan blocking, membuat panggung terasa kosong dan agak hambar.

Selanjutnya, seorang narator di sisi kanan luar panggung duduk menceritakan masalah apa yang terjadi dalam lakon ini. Percakapan dibalut lelucon antara narator dengan pemusik di seberang kiri menjadi penyegar pementasan.

Adegan sesungguhnya dimulai. Seorang wanita bernama Pertiwi duduk di tengah ruang persidangan dengan dikelilingi 4 sosok saksi yang mengaku sebagai sosok pendengar, penampung keluh kesah dan pemikiran kritis Pertiwi masa sekolah. Namun saksi-saksi tersebut merasa malu dan kecewa atas perbuatan yang dilakukan Pertiwi ketika sekarang telah menjadi guru. Seorang hakim datang menimpa Pertiwi dengan rasa kekecewaan yang akhirnya memaksa Pertiwi menceritakan bagaimana ia pada masa sekolah dulu dan menjadi seperti sekarang.

Maka adegan menjadi kilas balik, terlihat delapan murid di panggung dengan karakter masing-masing pemain yang dapat dimainkan dengan cukup baik. Yang menarik perhatian adalah seragam sekolah yang dipakai. Ada yang memakai kemeja berlogo OSIS kuning, dengan dasi merah, dan celana abu-abu, lalu kemeja kerah putih dengan celana pramuka, juga ada yang memakai kerudung dengan rok pendek dan kemeja lengan pendek. Hal ini menjadi simbol atas kacaunya para peserta didik akibat pengajaran yang juga kacau, namun mereka belum menyadari kesalahan tersebut karena memang hal itu yang mendidik mereka dari awal. Lalu seorang guru muncul memberi pengajaran mengarang, sejarah, dan menggambar. Di sinilah timbul kesadaran akan adanya kesalahan mengajar seorang guru kepada muridnya. Dimulai kasus pengertian Tanah Air yang dipersepsikan berbeda-beda oleh para murid. Pelajaran mengarang selalu mengangkat tema berlibur ke rumah nenek. Pelajaran menggambar, diinstruksikan menggambar dua gunung dengan matahari di tengahnya, juga sawah yang membentang di kaki gunung. Masalah-masalah tersebut semakin jelas memotret bahwa banyak guru pada masa sekarang yang mencetak murid sesuai dengan apa yang ia mau. Banyak guru yang terlihat tidak ingin membuat muridnya mencari hal baru, menambah kreativitas. Timbullah pertanyaan-pertanyaan kritis Pertiwi dan teman-temannya akan kesalahan sistem pengajaran gurunya tersebut. Muncul perdebatan antara guru dan murid sampai akhirnya Pertiwi bersumpah bahwa kelak ia akan menjadi guru yang sebenar-benarnya seorang pendidik yang pantas digugu dan ditiru. Namun kenyataan berkata lain, sumpah Pertiwi hanyalah sebatas omong hampa dengan alibinya yaitu sangat sulit mengubah sistem pendidikan yang sudah terlanjur kacau. Pertiwi menelan ludahnya sendiri karena ternyata ia menjadi seorang guru dengan sikap yang persis seperti gurunya dahulu.

Durasi pementasan memakan waktu yang cukup lama, sedikit dirugikan akibat pergantian adegan yang diiringi musik dengan tektok permainan yang longgar. Penguasaan dialog cukup matang ditampilkan dan grouping terbentuk rapi. Penataan cahaya berjalan baik. Namun satu hal yang mengganggu, di tengah panggung, menyala cahaya merah di sepanjang adegan, yang seharusnya dinyalakan saat adegan emosi marah atau klimaks saja. Padahal, psikologi warna berperan sangat penting untuk membangun emosi penonton. Selanjutnya dari segi kostum, pemilihannya cukup pandai mencari aman dan tidak memakai kostum yang ‘ngeri’ dipakai.

Keseluruhan, pementasan lakon Digugu dan Ditiru ini cukup menghibur dan menyadarkan, bahwa sesungguhnya ada kesalahan dalam sistem pengajaran di Indonesa, namun tidak semudah itu untuk memperbaikinya.

-Diah Ayu Wardani.