Kamis, 26 Februari 2015

Tentang sebuah Analogi


"Kok gue udah 3 tahun deket sama berbagai orang tapi belum ada yang nyantol ya?"
Kalimat tanya ini terlontar dari seorang teman saya yang sedang merenung kisah tali asmaranya.
Saya yang mendengar hal itu menjawab, "Mungkin dari banyak cantolan yang datang, elu masih belum mau pegangan di cantolan itu, jadi cantolannya ngerasa ketimpang"
Teman saya pun menyinyir.

Dari situ saya mulai beranalogi. Suatu hubungan asmara, baik yang telah berstatus maupun yang belum, itu seperti memakai baju. Ada yang pas, ada yang terlalu besar, ada juga yang terlalu sempit.



Jika bajunya pas, kita pun akan terus ingin memakainya, tidak ada kendala, sama halnya dengan hubungan yang tidak ada celah.

Jika baju yang dipakai terlalu besar, bisa dilepas dan ganti yang lain, atau tetap bisa dipakai. Juga serupa dengan hubungan yang renggang karena ada sedikit kekurangan, hanya tergantung bagaimana kita melihat seberapa besar masalah kekurangannya tersebut dan yang diperlukan hanyalah membuat diri kita merasa nyaman atas kekurangannya. Bisa dibilang sebagai pemaksaan kenyamanan yang ikhlas.

Nah, lain lagi jika baju yang dipakai terlalu sempit, bisa terjadi karena berjalannya waktu sehingga tubuh kita semakin membesar, memakai baju yang ukurannya tidak serta ikut membesar, semakin lama akan terasa sesak jika dipakai. Atau juga baju yang baru dipakai, namun karena ceroboh memilih dan tidak mempertimbangkan ukurannya yang terlalu kecil dengan tubuh kita, kita pun merasa sesak jika dipaksakan memakainya. Begitu pula dengan hubungan yang ceroboh maupun yang banyak tergores oleh waktu, tanpa sadar waktu menekan ruang hubungan yang semakin memadat, semakin sesak. Pada akhirnya, terpaksa harus melepas, meninggalkan.

Begitulah. Saya sendiri pun juga sedang berpikir, hubungan asmara saya sedang berada di analogi yang mana.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah: yah, namanya juga idup.

Sabtu, 21 Februari 2015

Catatan Pemimpin [Catatan Sutradara]






Catatan Pemimpin; komedi tragedi tentang kekuasaan

Apa bisa kebaikan muncul dari sebuah kejahatan bertumpuk-tumpuk? Apakah kejahatan bisa menjadi baik karena digantikan dengan kejahatan yang lain? Apakah suatu kejahatan berbeda dengan kejahatan yang serupa di tempat-waktu yang berbeda?

Inilah pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya melahirkan pentas ini. Kisah kekuasaan dan intrik politik memang kental dalam setiap kepemimpinan. Tragedi-tragedi perebutan kekuasaan memang sudah ada jauh sebelum tahun Masehi diterapkan. Bahkan mungkin sudah menjadi dongeng pengantar tidur untuk semua orang ketika masih kanak-kanak. Bahkan mungkin sudah menjadi cerita yang tak akan pernah berakhir di bumi ini.

Namun kisah ini coba dikemas dengan konsep relativitas yang pernah Einstein publikasikan.  Suatu kejadian dari sudut pandang Time-Space relativitas ini selalu sama. Misalnya kisah perebutan kekuasaan ini sama dalam waktu dan tempat. Pada masa prasejarah di Yunani dan masa perang dunia 2 di rusia merupakan Time-Space yang sama. Yang membedakannya hanya ‘proper’ saja, alias penentuan ukuran dan penamaan waktu-tempat tersebut. Tokoh, cara, dan pola termasuk pula sebagai ‘proper’.

Suatu peristiwa dalam relativitas dipengaruhi oleh Time-Space, yang mana saling terkait dan terpengaruh-dipengaruhi dengan peristiwa lainnya. Perebutan kekuasaan terkesan dan dinyatakan berbeda-beda di setiap masa dan tempat. Padahal ini merupakan suatu peristiwa yang menjadi satu kesatuan yang tak terputus. Yang akan terlihat seperti berulang, padahal penyebaran ‘pesan’ (inti peristiwa) yang berbeda dalam ukuran ‘proper’ waktu dan tempat.

Pentas ini pun mencoba memetakan suatu peristiwa dengan relativitas yang terus kontinyu yang mungkin akan terulang lagi di masa depan, seperti spiral yang tak terputus. Karena peristiwa perebutan kekuasaan ini tidak hanya ada di dalam dongeng-dongeng saja, tapi hadir disetiap situasi dan keadaan yang tak lagi melihat waktu dan tempat.

Naskah ini dibuat pada tahun 2010, yang memenangkan sayembara penulisan lakon tingkat Mahasiswa di regional Jakarta yang diselenggarakan oleh PEKSIMIDA –pekan seni mahasiswa tingkat daerah. Yang mencoba menghadirkan tokoh-tokoh dengan berbagai ukuran ‘proper’ disetiap tokohnya. Dimana ada sisi baik dan sisi jahat dari setiap tokohnya.

Drama satu babak ini rencana akan dipentaskan untuk suatu pemahaman. pemahaman dalam bentuk pengenalan kepada siapa saja, terutama siswa sekolah mengenai baik dan buruk secara relatif kepada mereka. Pesan moralnya pun untuk memberi pemahaman sesuatu yang baik dan tak baik yang harus tertanam dan terbuang pada generasi muda.

Karena memang Plato telah merumuskan suatu pementasan atau pertunjukan alangkah baiknya menerapkan ‘dulce et utile’, menghibur dan mendidik. Pementasan ini mencoba memberikan suatu pertunjukan yang menghibur namun memiliki pesan yang dapat mengingatkan kita semua, bahwa baik dan buruk sudah ada sejak Adam menginjakkan kaki pertama kali di bumi. Tinggal bagaimana kita mengambil dan memilah mana yang baik dan sebisa mungkin mengabaikan yang buruk.


(Dwi Suprabowo)